hello..welcome to my first blog. Hope you enjoy it.

Jumat, 30 Juni 2017

TUGAS INDIVIDU 

Berikut ini resume materi tentang Bimbingan dan Konseling untuk mata kuliah Psikologi Pendidikan pada hari Rabu tanggal 7 Juni 2017 oleh dosen ibu Sri Supriyantini

Bimbingan dan Konseling 

 Pengertian BIMBINGAN menurut para ahli :
- Menurut Miller (1961) menyatakan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum kepada sekolah (dalam hal ini termasuk madarasah), keluarga, dan masyarakat.
- Menurut Prayitno & Erman Amti (1994:99) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang-orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku
- Menurut Bimo Walgito (1982 : 11) bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang di berikan kepada individu atau sekumpulan individu-individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu-individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.
- Menurut Rochman Natawidjaja (1981) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti (Winkel & Sri Hastuti 2007:29).


sedangkan pengertian KONSELING menurut para ahli :
- Menurut Bimo Walgito (1982:11) menyatakan bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individhu dalam memecahkan masalah kehidupanya dengan wawancara, dengan cara yang sesuai dengan keadaan individhu yang dihadapinya unuk mencapai hidupnya.) dan menyetir (to steer). Beberapa ahli menyatakan bahwa konseling merupakan inti atau jantung hati dari kegiatan bimbingan. Ada pula yang menyatakan bahwa konseling merupakan salah atu jenis layanan bimbingan
- Menurut Smith,dalam Shertzer & Stone,1974 , konseling merupakan suatu proses dimana konselor membantu konselor membuat interprestasi – interprestasi tetang fakta-fakta yang berhubungan dengn pilihan,rencana,atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuat
- Menurut Berdnard & Fullmer ,1969, Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan,motivasi,dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketige hal tersebut.
- Menurut James P. Adam yang dikutip oleh Depdikbud (1976; 19) Konseling adalah suatu pertalian timbal balik antara dua orang individu antara seorang (konselor) membantu yang lain (konseli) supaya dia dapat lebih baik memahami dirinya dalam hubunganya dengan masalah hidup yang dihadapinya pada waktu itu dan pada waktu yang akan datang.


A. Pengertian Landasan Psikologis dalam Bimbingan dan Konseling
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, landasan dapat berarti bantalan, dasar atau bisa juga berarti tumpuan.  Sementara psikologis berasal dari kata psychology adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku, baik tingkah laku manusia maupun hewan.  Diterangkan lebih lanjut oleh J. P. Chaplin menjelaskan bahwa tingkah laku manusia secara individu bersifat jelas/terbuka namun kadang kala bersifat tersembunyi/samar-samar. Tingkah laku baik yang tersembunyi maupun yang terbuka,  yang sederhana maupun yang kompleks, rasional maupun irrasional, dapat dipelajari dalam psikologi.  Sehingga yang dimaksud dengan landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling adalah sebuah acuan atau pedoman secara psikologis untuk memberikan gambaran kepada konselor terkait dengan sifat-sifat manusia, hasrat, harapan, ketakutan, kemampuan, bakat serta keterbatasan yang dimikili individu sebagai konseli. 
Jika dikaitkan dengan ranah pendidikan di sekolah, yang menjadi sasaran bidang bimbingan dan konseling yaitu peserta didik. Dimana peserta didik memiliki karakter masing-masing yang berbeda satu sama lain, di samping itu peserta didik tersebut merupakan pribadi-pribadi yang sedang dalam proses perkembangan menuju kematangan psikis, seperti dalam perkembangan kematangan secara emosi, sikap, intelektual, sosiabilitas serta aspek-aspek lain. Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika dalam landasan bimbingan dan konseling bahwa peserta didik adalah sebagai individu yang berkembang secara dinamis memiliki kebutuhan dan dinamika dalam interaksi dengan lingkungannya. Peserta didik juga merupakan individu yang senantiasa mengalami berbagai perubahan dalam sikap dan tingkah lakunya.  
Maka agar perkembangan peserta didik dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan yang diharapkan dan terhindar dari munculnya masalah-masalah secara psikologis, peserta didik perlu diberikan bantuan yang bersifat pribadi.  Selain itu, konselor dapat memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan. Hal ini diperlukan karena ruang lingkup bimbingan dan konseling adalah ruang lingkup konseli, yang perlu diubah atau dikembangkan.  Tingkah laku individu tidak terjadi dalam keadaan kosong, melainkan mengandung latar belakang, latar depan, sangkut paut dan isi tertentu. Tingkah laku berlangsung dalam lingkungan tertentu yang di dalamnya terdapat unsur waktu, tempat, dan berbagai kondisi lain. Tingkah laku merupakan perwujudan hasil interaksi antara keadaan intern dan ekstern. Karena itulah psikologis menjadi salah satu landasan yang digunakan dalam konseling.

B. Aspek-aspek Landasan Psikologis dalam Bimbingan dan Konseling
Adapun aspek-aspek yang psikologis sebagai landasan dalam bimbingan dan konseling menurut Prayitno adalah sebagai berikut: Adanya motif dan motivasi, aspek pembawaan dan lingkungan, aspek perkembangan individu, aspek belajar, balikan dan penguatan serta aspek kepribadian individu. 
1. Motif dan motivasi
Salah satu aspek psikis yang penting diketahui adalah motif, karena keberadaannya sangat berperan dalam tingkah laku individu. Pada dasarnya tidak ada tingkah laku yang tanpa motif, artinya setiap tingkah laku individu itu bermotif. Sigmund Freud mengartikan motif sebagai energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu.   
Selanjutnya Freud membagi dorongan dasar tersebut menjadi dua, yaitu; dorongan dasar kehidupan yang terdiri dari libido atau seksual yang mendorong individu untuk mempertahankan keturunannya. Dan yang kedua adalah dorongan dasar agresif, yaitu yang mendorong perilaku agresif seseorang. Sementara Sartai mengartikan motif sebagai suatu keadaan yang komplek di dalam diri organisme atau individu yang mengarahkan perilakunya kepada suatu jutuan tertentu.  J. P. Chaplin mengemukakan, bahwa motif itu adalah satu kekuatan dalam diri individu yang melahirkan, memelihara dan mengarahkan perilaku kepada suatu tujuan.  
Dari beberapa pendapat di atas terkait dengan motif, kemudian penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan motif adalah adalah suatu dorongan yang dapat menggerakan seseorang dalam bertingkah laku. Dorongan tersebut yang  menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang terkandung dalam dorongan itu.
Syamsu Yusuf juga membagi motif menjadi dua, yaitu; motif primer dan motif sekunder, yang dijabarkan sebagai berikut: 
a. Motif primer
Yang dimaksud dengan motif primer adalah motif yang didasari oleh kebutuhan dasar. Motif ini merujuk kepada motif yang tidak dipelajari atau lebih bersifat naluriah. Motif primer ini meliputi: 
1) Dorongan fisiologis, motif ini besumber pada kebutuhan organis, seperti: Dorongan untuk makan, minum, bernafas, mengembangkan keturunan, beristirahat, bergerak, dan sebagainya.
2) Dorongan umum meliputi: Perasaan takut, kasih sayang, ingin tahu, menyerang, berusaha, dan mengejar.
b. Motif sekunder
Motif sekunder adalah kebalikan dari motif primer, yang mana motif sekunder ini muncul karena hasil dari belajar, terbentuk bersamaan dengan proses perkembangan individu yang bersangkutan. Motif ini disebut juga motif yang diisaratkan secara sosial, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia sehingga motif ini disebut juga motif sosial. 
Di dalam perkembangannya motif ini dipengaruhi oleh tingkat peradaban, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempat individu itu berada. Kedalam golongan ini teramasuk, antar lain:
1) Dorongan untuk belajar ilmu pengetahuan 
2) Dorongan untuk mengejar suatu kedudukan
3) Dorongan berprestasi 
4) Motif-motif objektif (eksplorasi, manipulasi dan menaruh minat)
5) Dorongan ingin diterima, dihargai, persetujuan, merasa aman
6) Dorongan untuk dikenal 
Pengelompokan motif berdasarkan kaitan antara motif dan objek tingkah laku menurut Santrok yang dikutip oleh Agoes Dariyo, dibagi menjadi dua,  yaitu; Motif internal yaitu motif yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan; sedang motif eksternal yaitu motif yang berasal dari luar individu. Seseorang yang memiliki motif internal cenderung lebih mampu bertahan dalam melakukan suatu kegiatan tertentu, dibandingkan bila seseorang memiliki motif eksternal. Bila dorongan yang berasal dari luar (eksternal) hilang atau sudah tidak ada lagi, maka seseorang yang bermotif eksternal cenderung memiliki daya dorong yang lemah dan tidak tergerak lagi untuk mencapai sesuatu. Namun bila seseorang yang memiliki dorongan internal tidak akan terpengaruh ada atau tidak adanya suatu stimulasi yang berasal dari lingkungan luar (eksternal). Meskipun tidak ada stimulasi eksternal, seseorang yang memiliki dorongan internal akan tetap tergerak untuk melakukan sesuatu agar dapat mencapai tujuan hidupnya, meskipun tidak ada dorongan eksternal.  
2. Pembawaan dan lingkungan
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan. Dalam artinya yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan pertumbuhan fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan ciri-ciri kepribadian tertentu. 
Kondisi yang menjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan berkembang. Namun pertumbuhan dan perkembangan itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Untuk dapat tumbuh dan berkembangnya, apa-apa yang dibawa sejak lahir itu, diperlukan prasarana dan sarana yang semuanya berada dalam lingkungan individu yang bersangkutan. Optimalisasi hasil pertumbuhan dan perkembangan isi pembawaan itu amat tergantung pada tersedia dan dinamika prasarana serta sarana yang ada di lingkungan itu. Adapun  menurut para ahli, secara umum penulis menemukan tiga pendekatan populer, yaitu:
a. Aliran Navitisme 
Navitisme  adalah  sebuah  doktrin  filosofis  yang berpengaruh  besar  terhadap  aliran  pemikiran  psikologis.  Tokoh utama aliran ini adalah Arthur Schopenaur (1788-1860) seorang filosof  Jerman.  Aliran  ini  disebut  juga  disebut  dengan  aliran pesimistis, karena berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu  ditentukan  oleh  pembawaannya  sedang  pengalaman  dan pendidikan  tidak  berpengaruh  apa-apa,  yang  dalam  istilah pendidikan disebut dengan “pesimisme pedagogis”. 
Schopenhauer  berpendapat  bahwa  bayi  itu  lahir  sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karen itu menurut  bahwa  hasil  akhir  pendidikan  ditentukan  oleh pembawaan  yang  dibawa  lahir.  Maka  berdasarkan  pandangan ini, keberhasilan suatu pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. 
Penganut pandangan navitisme juga berpandangan bahwa lingkungan  sekitar  tidak  berarti  sama  sekali.  Karena  lingkungan tidak  berdaya  dalam  mempengaruhi  perkembangan  anak. Penganut paham ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan  jahat  maka  dia  akan  menjadi  jahat,  begitu  juga sebaliknya. Pembawaan  baik  dan  buruk  ini  tidak  dapat  diubah oleh kekuatan dari luar.  
b. Aliran Empirisme  
Aliran  Empirisme  merupakan  kebalikan  dari  aliran nativisme,  yang  berpendapat  bahwa  perkembangan  anak tergantung  kepada  kingkungannya,  sedangkan  faktor pembawaan  tidak  berpengaruh  dan  dipentingkan  karena  waktu anak  lahir  bagaikan  kertas putih  yang  bersih  yang  belum  ditulis dengan sesuatu apapun. 
Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704). Nama asli aliran  ini  adalah  “the  School  of  Brithis  Empiricism”  (aliran emperisme Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran berfilsafat  bernama  enviromental  Psychology  (pisikologi lingkunagan) yang relaif masih baru.
Doktrin  aliran  emperisme  yang  amat  masyhur  adalah “tabula  rasa”  yang  berasal  dari  bahasa  latin  yang  artinya  batu tulis  kosong  atau  lembaran  kosong  (blank  slate/blank  tableta). Doktrin  tabula  rasa  menekankan  arti  penting  pengalaman, lingkungan  dan  pendidikannya,  sedangkan  bakat  dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. 
Menurut  emperisme  para  pendidik  akan  menjadikan lingkungan  yang  dikehendakinya.  Lingkungangan  pendidikan  itu kemudian  akan  disajikan  kepada  anak  dan  akan  diterima  oleh anak  sebagai  pengalaman-pengalaman.  Pengalaman-pengalaman  yang  diterima  oleh  anak-anak  akan  dapat membentuk  tingkah  laku,  sikap  dan  nilai-nilai  yang  disesuaikan dengan yang diinginkan oleh tujuan pendidikan.  
c. Aliran Konvergensi
 Aliran  konvergensi  adalah  aliran  yang  menggabungkan antara aliran empirisme dan aliran nativisme. Aliran ini dipelopori oleh    Wiliam  Stern  (1871-1938)  seorang  filsof  dan  fsikolog Jerman.  Para  penganut  aliran  berkeyakinan  bahwa  dalam  proses perkembangan  anak,  baik  faktor  heriditas  maupun  lingkungan sama-sama punya andil yang signifikan. Bakat yang dibawa oleh anak  tidak  akan  berkembang  dengan  baik  tanpa  dukungan lingkungan  yang  sesuai  untuk  perkembangan  itu.  Begitu  juga sebaliknya,  lingkungan  yang  baik  tidak  dapat  menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak  terdapat  bakat  yang  diperlukan  untuk  mengembangkan kemampuan yang diharapkan.  
Berdasarkan  ajaran  aliran  konvergensi  ini,  William  Stern membuat  suatu  kesimpulan,  bahwa  hasil  pendidikan  itu tergantung  dari  pembawaan  dan  lingkungan,  dan  digambarkan seperti dua garis yang bertemu pada titik.7 Pada dasarnya memang sukar untuk dikatakan, pada usia berapa  tepatnya  anak  matang  untuk  pendidikan  dasar,  karena persoalan  kematangan  ini  tidak  ditentukan oleh faktor usia atau umur  semata  namun  ada  juga  faktor-faktor  lain  yang  sangat berperan dalam menentukan kematangan tersebut. 
3. Perkembangan individu 
Sejak masa konsepsi dalam rahim ibu bakal individu yang telah ditakdirkan ada itu berkembang menjadi janin, janin menjadi bayi, bayi lahir kedunia. Secara  umum,  proses  dapat  bermakna  sebagai  runtutan perubahan (peristiwa) yang terjadi dalam perkembangan sesuatu.  Jika dikaitkan  dengan  proses  perkembangan  peserta didik,  maka  pengertiannya adalah  berupa  tahapan-tahapan  perubahan  yang  dialami  oleh  seorang peserta didik,  baik  perubahan  jasmaniah  maupun  rohaniah.  Proses  dalam  hal ini  jika  berarti  tahapan  perubahann  tingkah  laku  peserta didik,  baik  yang terbuka  maupun  yang  tertutup  dan  proses  juga  bisa  berarti  cara terjadinya  perubahan  dalam  diri  peserta didik  atau  respon  yang  ditimbulkan oleh peserta didik tersebut. 
Muhibin  Syah  dalam  bukunya  pisikologi  pendidikan mengemukakan  bahwa  proses  perekmbangan  individu  sampai  terjadi person (dirinya sendiri) berlangsung dalam tiga tahapan yaitu: Tahapan  Proses  konsepsi  (pembuahan  sel  ovum  ibu  oleh  sel sperma ayah), tahapan proses kelahiran, tahapan  proses  perkembangan  individu  bayi  tersebut  menjadi seorang pribadi yang khas (development or selfhood). 
Sedangkan  Lester  D.  Crow  dalam  bukunya  Human  Development dan  Learning,  mengemukakan  bahwa  ada  tiga  proses  perkembangan yaitu  Childhood,  Maturity  dan  adulthood.  Childhood  yaitu  masa  yang mencakup  masa  kandungan,  masa  kelahiran,  masa bayi,  masa  kanak-kanak, dan masa sekolah. Maturity, adalah suatu proses perkembangan ketika  seseorang  mengalami  kematangan  sebelum  ia  memasuki  masa kedewasaannya.  Kematangan  fungsi  jasmaniyah  akan  mempengaruhi perubahan  fungsi-fungsi  kejiwaan.  Sedangkan  Atulthood  adalah  masa memasuki kedewasaan.  Karena   masa  itu  mencakup  waktu  yang  lama sekali  maka  dapat  dibagi  menjadi  tiga  yaitu  masa  awal  kedewasaan, masa pertengahan kedewasaan dan masa akhir kedewasaan atau usia lanjut. 
Masing-masing aspek perkembangan, seperti perkembangan kognitif/ kecerdasan, bahasa, moral, hubungan sosial, fisik, kemampuan motorik memiliki tahap-tahap perkembangannya sendiri. Di samping itu hukum-hukum perkembangan berlaku bagi perkembangan segenap aspek itu secara menyeluruh, termasuk di dalamnya peranan faktor-faktor pembawaan dan lingkungan. Meskipun masing-masing aspek perkembangan cenderung memperlihatkan caranya sendiri, namun aspek-aspek itu saling terkait. Dalam satu tahap perkembangan tertentu berkembanglah berbagai aspek tersebut dan pada umumnya saling terkait. 
4. Belajar, Balikan, dan Penguatan
Di dalam proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan inti. Karena pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai bantuan perkembangan melalui kegiatan belajar. Secara psikologis belajar juga dapat diartikan sebagai proses memperoleh perubahan terhadap tingkah laku.  
Belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan apa yang sudah ada pada diri individu. Hal-hal yang perlu diperhatikan: Pertama, terjadinya perubahan dan tercapainya sesuatu yang baru pada diri individu itu tidak berlangsung dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan. Jika perubahan atau sesuatu yang baru terjadi pada individu tersebut tanpa disengaja atau diupayakan, maka perubahan atau sesuatu yang baru itu bukanlah hasil belajar, melainkan suatu yang berlangsung secara kebetulan atau hasil pertumbuhan/ perkembangan yang berupa kematangan.
Kedua, proses belajar terjadi pada suatu kondisi tertentu. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat, berupa hasil kematangan ataupun hasil belajar yang terdahulu. Misalnya, apabila seorang anak hendak belajar berhitung, terlebih dahulu ia harus memahami tentang konsep tentang angka sebagai prasyarat belajar berhitung itu.
Ketiga, hasil belajar yang diharapkan adalah sesuatu yang baru, baik dalam kawasan kognitif, afektif, konotatif, maupun psikomotoris/keterampilan. Hasil yang merupakan sesuatu yang baru akan memberikan nilai tambah bagi individu yang belajar.
Keempat, kegiatan belajar seringkali memerlukan sejumlah sarana, baik peralatan(berupa buku, alat-alat latihan, alat-alat peraga, peralatan elektronik, peralatan komunikasi, dan berbagai alat bantu belajar lainnya) maupun suasana hati dan hubungan sosio-emosional. Suasana hati dan hubungan sosio-emosional yang kondusif, sehingga tidak ada sesuatu yang menghambat, melainkan mendorong berlangsungnya perbuatan belajar, akan lebih memungkinkan lagi tercapainya hasil belajar yang diinginkan.
Kelima, hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar hendaknya dapat diketahui atau diukur, baik oleh individu yang belajar maupun oleh orang lain. Pengetahuan tentang hasil belajar merupakan balikana bagi individu yang belajar, terutama tentang seberapa jauh kesuksesannya dalam upaya belajar itu. Adanya balikan seperti itu sangat diperlukan oleh individu yang belajar agar ia dapat mengadakan perhitungan tentang upaya belajar yang dilaksanakannya itu dan hasil-hasilnya serta upaya kelanjutannya.
Keenam, upaya belajar merupakan upaya yang berkesinambungan. Kegitan belajar tidak terbatas oleh waktu, tempat, keadaan, dan objek yang dipelajari, ataupun oleh usia. Upaya belajar dikehendaki berlangsung terus-menerus, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan individu yang bersangkutan. Untuk itu diperlukan penguatan (reinforcement). Apabila penguatan itu sering dilakukan, maka individu yang diberikan penguatan itu akan melanjutkan atau bahkan meningkatkan upaya belajarnya, sampai ia memiliki kebiasaan belajar yang baik.
Pemberian penguatan dilakukan memakai pernyataan berkenaan dengan hal-hal positif yang ada pada diri individu, khususnya berkenaan dengan kegiatan belajarnya itu; misalnya pernyataan tentang motivasi belajarnya cukup tinggi, hasil belajarnya bagus, caranya menjawab soal-soal cermat, bahasanya lancer, pekerjaannya rapi, dan sebagainya. Dengan pernyataan positif itu diharapkan mendorong tumbuhnya rasa puas, rasa diri mampu bekerja dan mampu menghasilkan sesuatu yang berguna, sehingga ia terdorong untuk mengulangi kegiatan tersebut. Apabila hal itu terjadi maka upaya pemberian penguatan menampakkan hasilnya.
Para konselor perlu mengenal dan memahami teori-teori belajar yang telah dikembangkan oleh para ahli seperti, teori pembiasaan dan keterpaduan (conditioning dan connectionism theories), teori gestalt (gestalt theories), teori perkembangan kognisi (cognitive development theories), teori proses informasi (informating processing theories), proses peniruan (social learning theory). Hal tersebut dilakukan dalam upaya pengembangan kegiatan belajar konseli.   
5. Kepribadian 
Sering dikatakan bahwa ciri seseorang adalah kepribadiannya. Dalam psikologi, kepribadian masih sulit dicapai. Pengertian kepribadian menurut beberapa ahli psikologi, umumnya terpusat pada faktor fisik dan genetika, berpikir dan pengamatan, serta dinamika motivasi dan perasaan.
Menurut Wiggins, Renner, Clore, dan Rose (1976), mengupas tentang kepribadian dengan melihat hakikat tingkah laku dan perkembangannya secara menyeluruh. Menurut Hothersall (1985), mencoba merumuskan kepribadian sebagai “predis posisi cara mereaksi yang secara relatif stabil pada diri individu”, sehingga dapat di pahami kepribadian individu sangat kompleks.   Konselor perlu memahami  kompleksitas kepribadian konseli disamping mampu memilah-milah ciri-ciri yang dapat diukur. Tugas konselor mengoptimalkan perkembangan dan pendayagunaan predisposisi ataupun ciri kepribadian individu kearah hal-hal positif sesuai tingkat perkembangan dan kebutuhan individu yang bersangkutan.

C. Implementasi Psikologi dalam Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bidang profesi psikologi diterapkan dalam refleksi psikologi umum  pada umumnya mempelajari sifat-sifat manusia, artinya persamaan-persamaannya dari manusia dewasa, yang normal dan beradab. Psikologi khusus menyelidiki sifat-sifat yang berbeda pada manusia, seperti berbeda umur, kelamin, lapangan hidup dan lain-lain. Psikologi banyak memberikan sumbangan dan manfaat yang berarti pada bidang-bidang profesi lain.
Dapat mengambil kesimpulan bahwa didalam bimbingan dan konseling adanya pendekatan-pendekatan yang berhubungan dengan psikologis, sehingga tidak heran jika didalam konseling menemui hal-hal yang berkaitan dengan psikologis. Aspek yang biasa dijumpai dalam proses konseling seperti aspek kognitif, emosi, perkembangan dan sebagainya. Di dalam konselingpun  terdapat komponen atau unsur guna terciptanya tujuan dan proses yang baik. Dalam pelaksanaan konseling tidak bisa dilakukan dengan menggunakan cara secapat-cepatnya melainkan dengan tahap-tahap dan teori yang baik.
Setiap upaya yang dilakukan dalan bimbingan dan konseling tidak lain sebagai upaya membantu konseli untuk memahami dirinya dan lingkungannya agar dapat melakukan penyesuaian dengan optimal. Setelah dilakukannya Proses konseling diharapkan setiap konflik yang terjadi dapat diatasi sendiri oleh konseli. Dengan menggunakan segala kelebihan atau potensi yang ada pada diri konseli. Seorang hanya mengarahkan dan membantu mencari pilihan pemecahan masalah yang dialami oleh konseli bukan menginterfensi diri konseli.
Sebagai contoh penerapan psikologi dalam bimbingan dapat dilihat pada seorang penyuluh atau pembimbing yang sedang menangani masalah atau kasus pada seseorang atau sekelompok orang  tidak lain hal yang utama dia lakukan adalah melihat dan mempelajari gejala-gejala manusia itu sendiri baik dari fisik maupun psikisnya sehingga dapat memudahkannya untuk mengambil tidakan selanjutnya sebagai solusi dalam memecahkan suatu masalah agar seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tingkah laku dan tindakan  apa yang seharusnya mereka ambil. Begitupula dengan konseling seorang konselor harus mampu mempengaruhi konselinya untuk mengubah tingkah lakunya agar dapat memecahkan permasalahannya melalui ilmu pengetahuan psikolognya.
Bimbingan dan konseling adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya, agar orang tersebut mampu mengatasi dirinya sendiri, sehingga timbul pada diri pribadinya suatu cahaya harapan kebahagian hidup saat sekarang dan masa depannya. Jadi jelas, bahwa sasaran bimbingan dan penyuluhan adalah pemeberian kecerahan batin.







Selasa, 20 Juni 2017

TUGAS INDIVIDU

Berikut ini resume materi tentang Pedagogi dan Andragogi untuk mata kuliah Psikologi Pendidikan pada hari Rabu tanggal 17 Mei 2017 oleh ibu dosen Filia Dina

Pedagogi dan Andragogi
A. Pendidikan Andragogi
 Andragogi merupakan istilah istilah baru yang popular saat ini adalah teori belajar yang cocok dan tepat untuk orang dewasa. Istilah andragogi pertama kali dikenal melalui karya seorang ahli pendidikan Yugoslavia yang berjudul Adult Leadership (1968), yang artinya memimpin orang dewasa. Kemudian Malcom S. Knowles, dengan publikasinya yang berjudul Adult Learner: A Neglected Species.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani, aner atau andr, yang berarti orang dewasa agogos, yang berarti mengarahkan/memimpin. Andragogi dirumuskan dalam suatu ilmu dan seni untuk membantu orang dewasa belajar. Karena individu orang dewasa adalah sebagai self directed, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari si pelajar, bukan kegiatan mengajar dari guru.
Istilah yang sering dipakai sebagai perbandingan adalah pedagogi yang berasal dari kata paid, yang artinya anak, dan agogos, yang berarti memimpin/membimbing, dimana secara harfiah pedagogi berarti seni dan pengetahuan mengajar anak. Karena pedagogi berarti seni dan pengetahuan mengajar anak, maka memakai pendekatan pedagogi untuk orang dewasa tidak tepat, karena mereka bukan lagi anak-anak.
Tingkat ketergantungan anak-anak kepada orang dewasa masih tinggi dan menurun seiring dengan bertambahnya usia mereka. Karenanya praktek pedagogi lebih cocok pada anak-anak, yang berarti bahwa anak-anak dapat diajar untuk memperoleh suatu pengetahuan dan pengalaman tertentu. Berbeda halnya dengan orang dewasa, mereka sudah punya self directing, dan tingkat ketergantungan kepada orang lain berkurang. Orang dewasa lebih cenderung dibimbing, dimotivasi untuk memperoleh sesuatu yang pada akhirnya mereka sendiri dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.
Definisi yang ditawarkan Kartini Kartono yang dikutip Asmin bahwa: “andragogi adalah ilmu menuntun/ mendidik manusia;anerandros: manusia, Agoo: menuntun, mendididk. Atau ilmu membentuk manusia; yaitu membentuk kepribadian seutuhnya, agar ia mandiri di tengah lingkungan sosialnya”.
Oleh karena orang dewasa dipahami sebagai individu yang telah mampu mengarahkan diri sendiri, maka pengertian andragogi dalam pembelajaran menurut penulis, adalah seni dan pengetahuan dalam membelajarkan orang dewasa. Hal ini dimaksudkan bahwa yang terpenting dalam proses ini adalah bukan kegiatan mengajar guru akan tetapi kegiatan belajar siswa.
Hal ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Maynard dalam pendidikan liberal sejati, bahwa salah satu cabang pendidikan terpenting adalah pendidikan bagi orang dewasa. Kadang kita terbersit pemikiran bahwa pendidikan adalah sesuatu yang mirip jerawat, campak, atau cacar air. Kita pikir kalau orang sudah pernah dididik di masa kecilnya, lantas ia tak perlu dididik lagi, malah tak bisa dididik lagi. Padahal bila kita cermati, kebanyakan hal penting dalam kehidupan ini hanya bisa dipelajari di usia dewasa. Menurut Maynard:
“Manusia adalah binatang rasional. Mereka mencapai keberadaan tertinggi di atas segala binatang lain lewat penggunaan penalaran. Ini berarti nalar harus terus dipakai seumur hidup. Kalau manusia hanya belajar di masa kecil saja, lalu mandek, berarti mereka hanya menjadi manusia pada masa kecil itu saja.”
Sedangkan pengertian andragogi sebagaimana direkomendasikan UNESCO diterjemahkan sebagai berikut:
“Istilah pendidikan orang dewasa berarti keseluruhan proses yang diorganisasikan, apapun isi, tingkatan dan metodenya, baik formal maupun tidak, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah, kolese atau universitas serta latihan kerja, yang membuat orang yang dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, meningkatkan kualifikasi atau profesionalitasnya dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam persfektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan partisipasi dalam perkembangan sosial, ekonomi dan budaya yang seimbang dan bebas.”

B. Pendidikan Pedagogi 
Menurut Knowles, sebelum wujudnya andragogi, pedagogi sudah muncul. Pedagogi adalah seni dan kebudayaan bagi pembelajaran anak-anak. Perkataan itu diambil dari Yunani yaitu ‘paid’ bermaksud ‘child’ dan ‘agogus’ bermaksud ‘leader of’.
 Pada permulaan abad ketujuh di Eropa, sekolah didirikan dengan tujuan mengajar anak-anak. Sekolah dasar adalah sekolah yang mendidik anak-anak lelaki dalam menyalurkan ilmu keagamaan. Memandang guru-guru di sekolah itu mempunyai prinsip dan misi terhadap kepercayaan dan upacara keagamaan bagi pelajar anak-anak ini, mereka mengendalikan strategi pembelajaran yang dikenali sebagai ‘Pedagogy’ yang bermaksud seni dan kebudayaan untuk pembelajaran anak-anak.
 “Saya tidak mengatakan yang pedagogi adalah untuk anak-anak saja dan andragogi adalah untuk orang dewasa, memandangkan ada beberapa andaian pedagogi realistik untuk orang dewasa dan beberapa situasi dan beberapa andaian andragogi sesuai untuk anak-anak. Dan saya tidak mengatakan yang pedagogi itu buruk manakala andragogi adalah baik, setiap satunya mempunyai andaian yang munasabah.” Knowles (1979) “…setiap orang dewasa mempunyai tanggapan yang spesifik dan menghargai segala bidang kerjaya, kebahagiaan, keluarga, kehidupan dan hubungan komunitinya. ‘Subject-matter’ kadangkala dibawa ke dalam situasi ini dan digunakan dalam bidang kerjaya sekiranya diperlukan. Fakta dan guru merupakan peranan kedua dalam sesi pembelajaran, guru juga harus menyatakan tentang kepentingan pendidikan formal.’

C. Perbedaan Pendidikan Andragogi dan Pedagogi 
Pendidikan orang dewasa berbeda dengan pendidikan anak-anak (paedagogy). Pendidikan anak-anak akan berlangsung dalam bentuk asimilasi, identifikasi, dan peniruan, sedangkan pendidikan orang dewasa menitikberatkan pada peningkatan kehidupan mereka, memberikan keterampilan dan kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang mereka alami dalam hidup mereka dan dalam masyarakat.
Perbedaan antara konsep andragogi dan pedagogi adalah bahwa konsep andragogi berkaitan dengan proses pencarian dan penemuan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk hidup, sedangkan konsep pedagogi berkaitan dengan proses mewariskan kebudayaan yang dimiliki generasi yang lalu kepada generasi sekarang.

Terdapat 4 (empat) konsep untuk membedakan antara orang dewasa dan anak-anak, yaitu:
   1.      Konsep diri,
   2.      Konsep pengalaman,
   3.      Konsep kesiapan belajar, dan
   4.      Konsep perspektif waktu atau orientasi belajar.
 Menurut konsep diri orang disebut dewasa, jika orang tersebut:
1.            Mampu mengambil keputusan bagi dirinya,
2.            Mampu memikul tanggung jawab, dan
3.            Sadar terhadap tugas dan perannya.
Dalam andragogi belajar berorientasi pada pemecahan masalah, yaitu belajar sambil bekerja pada persoalan sekarang untuk dipergunakan sekarang juga. Dalam pedagogi orientasi belajarnya adalah pada mata pelajaran yang dipelajari oleh murid sekarang untuk bekal hidup di masa mendatang.


Perbandingan Rancangan Bangun Pendidikan Antara Andragogi dan Pedagogi
No
Matra
Unsur Rancang Bangun
Pedagogi
Andragogi/Gerentologi
1
Suasana
Berorientasi pada otoritas formal dan bersaing
Ketimbal-balikan, saling menghargai, bekerja sama, informal
2
Perencanaan
Oleh guru/pelatih
Mekanisme perencanaan bersama
3
Diagnostik kebutuhan
Oleh guru/pelatih
Diagnostik diri timbal balik
4
Perumusan tujuan
Oleh guru/pelatih
Perbandingan bersama
5
Rancangan bangun
Logika mata pelajaran
Dituntut menurut kesiapan satuan masalah
6
Kegiatan Penilaian
Teknik penyampaian oleh guru/pelatih
Diagnostik ulang kebutuhan timbal balik, pengukuran program bersama

   Perbedaan Orang Dewasa dan Anak Dalam Belajar
No
Komponen-komponen Pembelajaran
Pedagogi/Anak-anak
Andragogi/Gerentologi
1


2

3




4




5


6


7


8


9
Tujuan Pembelajaran


Materi Pelajaran

Metode dan Teknik




Sumber Belajar/Guru




Evaluasi


Kurikulum


Waktu


Tempat


Sarana/Prasarana
Diarahkan untuk masa yang akan datang.

Lebih umum

Ceramah guru lebih dominan



Ditentukan secara formal




Keberhasilan dalam belajar

Ditentukan oleh lembaga tertentu

Ditentukan oleh guru


Ditentukan oleh guru/pengelola

Lembaga/pengelola/guru
Untuk saat sekarang (dapat dimanfaatkan segera)

Praktis, keterampilan

Lebih banyak mengajak WB, untuk berbuat melalui diskusi, metode kasus, simulasi, dll.

Tidak ditentukan secara formal, asal punya keterampilan dan mau membantu WB

Evaluasi diri (self evaluation)

Dirancang secara bersama antara tutor dengan WB

Kesepakatan antara tutor dengan WB

Disepakati antara tutor dengan WB

Disepakati bersama antara tutor, WB, dan pengelola

 Prinsip-Prinsip Belajar Orang Dewasa
Berdasarkan uraian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa orang dewasa yang datang pada suatu pertemuan/kegiatan belajar telah memiliki konsep diri dan membawa pengalaman-pengalaman masa lampau. Hal ini akan mewarnai orang dewasa dalam setiap aspek kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
Para pengelola dan pelaksana pada pendidikan orang dewasa dalam membelajarkan mereka perlu memperhatikan prinsip-prinsip belajar orang dewasa. Hal itu akan dapat memudahkan kita menolong mereka dalam mengarahkan mereka sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan dan diharapkannya. Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut.
1.         1.  Problem Centered
Pembelajaran harus berpusat pada masalah yang dihadapi warga belajar/orang dewasa. Masalah adalah kesenjangan antara yang diinginkan dengan kenyataan yang ada. Masalah yang ada tersebut perlu dicarikan pemecahannya. Dalam membelajarkan orang dewasa belajar selalu dipusatkan pada masalah. Seorang pembimbing/fasilitator dan tutor harus dapat merangsang mereka untuk belajar. Pembimbing tersebut juga harus dapat meyakinkan orang dewasa bahwa yang akan dipelajari itu merupakan suatu masalah yang menyangkut tentang dirinya.
Kenapa dalam membelajarkan orang dewasa selalu dipusatkan pada masalah (problem centered). Alasannya adalah orang dewasa akan mau belajar kalau dia menemui masalah. Dengan demikian mereka akan belajar karena yang dipelajarinya itu mempunyai manfaat baginya dan mereka merasa perlu untuk menghadapi masalah yang dihadapinya, misalnya petani tradisional akan belajar kalau ada masalah, seperti hasil ladangnya yang tidak memenuhi kebutuhan sehingga mereka ingin belajar bagaimana cara meningkatkan hasil pertanian.
2.        2.    Fungsional
Dalam proses belajar orang dewasa, hendaknya apa yang dipelajari itu mempunyai arti atau mempunyai fungsi untuk warga belajar, sebab orang dewasa akan mau belajar apabila yang dipelajari ada manfaat bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sebelum memberikan pendidikan kepada warga belajar, seorang pembimbing tutor, fasilitatorharus melakukan identifikasi kebutuhan warga belajar. Seandainya kita memberikan pendidikan kepada masyarakat nelayan, maka pembimbing harus memberikan pendidikan tentang teknik penangkapan ikan yang baik, sehingga dapat diperoleh hasil yang memadai.
    3.      Experience Centered/Berpusat pada Pengalaman
Pemusatan pelajaran pada pengalaman. Maksudnya di sini bahwa dalam membelajarkan haruslah dipusatkan kepada pengalaman warga belajar. Pengalaman-pengalaman WB dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan belajar. Oleh sebab itu, di dalam proses interaksi belajar orang dewasa, merekalah yang semestinya banyak berbuat. Dengan kata lain, warga belajar dilibatkan dalam proses belajar, karena dengan keterlibatan tersebut maka mereka akan merasa bertanggungjawab. Apabila pelajaran yang diberikan didasarkan pada pengalaman mereka, maka secara otomatis mereka akan tertarik untuk belajar, karena yang dipelajari berhubungan dengan keinginan mereka.

4.           
4.         Merumuskan Tujuan. 
  Dalam kegiatan belajar orang dewasa, mereka dilibatkan sejak dari awal sampai dengan berakhirnya kegiatan belajar. Warga belajar ikut menentukan sendiri apa yang akan dipelajarinya, merumuskan tujuan yang akan dicapai, dan melaksanakan kegiatan belajarnya. Dengan melibatkan mereka seja dari awal sampai akhir maka diharapkan hasil belajar akan dapat dicapai dengan baik.  
        5.      Feed Back (Balikan)
Umpan balik di sini artinya warga belajar mengetahui hasil belajar yang telah dicapainya. Apabila mereka telah mengetahui hasil belajarnya, maka warga belajar diharapkan dapat meningkatkan kegiatannya ke arah perbaikan cara belajarnya. Warga belajar harus tahu sampai dimana proses belajar itu telah dilaluinya.
Penilaian dalam proses belajar sangat diperlukan, warga belajar harus mendapatkan umpan balik dari proses belajarnya. Sampai dimana kemampuan mereka dalam belajar, sampai dimana pelajarandapat dicapai dan dikuasai. Apakah pelajaran tersebut dapat merubah cara ke arah perbaikan diri sendiri, dan apakah belajar dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dengan adanya umpan balik tersebut akan sangat menentukan kegiatan belajar selanjutnya.
Selanjutnya, Miller mengidentifikasikan enam kondisi yang prinsip bagi keberhasilan orang dewasa dalam belajar, yaitu:
   a.       Warga belajar orang dewasa harus dimotivasi agar berubah tingkah lakunya,
   b.      Warga belajar harus disadarkan akan ketidakmampuannya untuk berperilaku,
   c.       Warga belajar harus memiliki gambaran yang jelas terhadap tingkah laku yang diajukan,    
   d.      Warga belajar harus diberi kesempatan untuk mempraktekkan tingkah laku yang diinginkan,
   e.       Warga belajar harus mendapat dukungan atas tindakannya yang benar, dan
f.       Warga belajar harus memiliki serangkaian materi yang tepat untuk dipraktekkan